23.6.10

Peta Kekuatan BCA

( Pak Tino Sidin, Karni Ilyas, Guruh Soekarnoputra )*

Di industri jasa seperti perbankan, bukan hanya kecepatan yang diperlukan, tetapi juga akurasi dan kedekatan. Bagaimana BCA mampu menjalankan ketiganya dengan memanfaatkan database?


Gunadi Setiawan dan Irene tengah gundah. Pasangan muda ini ingin membeli rumah dengan menggunakan mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Namun, di tengah gelombang krisis finansial, keduanya khawatir suatu saat tingkat suku bunga KPR melonjak sehingga mereka mengalami gagal bayar.

Kekhawatiran Gunadi dan Irene bukan tanpa alasan. Gunadi, sang kepala keluarga, pernah punya pengalaman buruk saat memiliki pinjaman di sebuah bank, sepuluh tahun lalu. Bunga pinjamannya ketika itu melonjak hingga di atas 50%. Untunglah waktu itu ia cepat bertindak dengan segera melunasi pinjamannya sehingga tidak terjerat oleh tingginya bunga pinjaman yang tidak lagi rasional itu.

Gunadi dan Irene menginginkan format pinjaman KPR dengan jaminan suku bunga sehingga kekhawatiran akan kenaikan bunga pinjaman yang di luar perkiraan dapat diredam. Keinginan keduanya bisa jadi mewakili harapan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebanyakan mereka memang memilih untuk bersikap konservatif. Mereka menginginkan “kepastian” pinjaman KPR yang diambil sehingga sejak awal mereka dapat berhitung—meskipun dalam beberapa kasus mereka akan mendapatkan harga pembelian rumah yang lebih mahal dari harga pasar.

PT Bank Central Asia Tbk. menangkap masalah ini. Korporasi yang sebagian sahamnya dimiliki Grup Djarum ini lalu mulai melakukan identifikasi masalah. Mereka mengadakan semacam survei perilaku sekaligus nilai ekonominya. “Awalnya kami melihat bahwa di Amerika punya tren penawaran KPR dengan bunga tetap hingga 15 tahun dan kami duga bila dipasarkan di Indonesia, tren ini akan laku,” kata Henry Koenaifi, direktur PT Bank Central Asial Tbk.

Berdasarkan hal itulah BCA kemudian melakukan survei sekaligus memantau karakteristik nasabahnya berdasarkan database yang mereka miliki. ”Kami menguji dan menghitung apakah penawaran KPR seperti yang di Amerika itu bisa atau tidak digunakan di Indonesia,” kata Henry, yang di BCA bertanggung jawab atas pengelolaan Unit Bisnis Kredit Konsumer, Unit Bisnis Kartu Kredit, dan Personal/Individual Banking.

Hasilnya, produk dari Amerika itu tidak bisa diadopsi sepenuhnya karena tidak memiliki nilai keekonomisan. Pasalnya, jika produk ini dijalankan, perhitungan bunganya akan tetap tinggi. Maka, berdasarkan hasil itu, BCA lalu mengeluarkan produk KPR Fix & Cap. Produk ini, menurut Henry, merupakan satu-satunya produk KPR yang mampu memberikan jaminan suku bunga tetap (fix) hingga tiga tahun dan dua tahun berikutnya cap. “Pada tiga tahun pertama kami berikan tingkat bunga tetap, sedangkan dua tahun selanjutnya kami menerapkan semacam tingkat bunga maksimal,” ujarnya.

Apa yang membuat BCA berani mengeluarkan produk ini? “Pemanfaatan database,” jawab Henry. Lanjut dia, dari data yang dimiliki perusahaannya, diketahui bahwa sebagian besar nasabah tabungan memiliki semacam stabilitas saldo. Artinya, baik situasi krisis maupun tidak, tak ada pengaruhnya buat mereka. Jumlah saldonya terus bertambah dan akumulasi setoran per bulan juga stabil sehingga produk ini amat dimungkinkan. Pada Desember 2008, penyaluran kredit konsumer BCA tumbuh signifikan sebesar 47,8% menjadi Rp21 triliun dibanding Desember 2007, yang didukung pertumbuhan di semua produk kredit konsumer. Prestasi ini terus berlanjut dengan tumbuhnya kredit konsumer menjadi Rp21,1 triliun pada akhir Maret 2009 dari Rp15,1 triliun pada periode yang sama 2008.


Produk Sesuai Database

Database juga bak menjadi “roh” bagi BCA untuk mengeluarkan kebijakan, termasuk dalam mengeluarkan produk. Ungkap Henry, sebagian besar produk bank swasta ini dikeluarkan dengan memperhitungkan karakteristik nasabah berdasarkan database yang dimiliki. Ini, tambahnya, membuat setiap produk yang dikeluarkan BCA selalu memiliki daya serap yang bagus.

Henry memberikan contoh mula pertama dikeluarkannya produk kartu kredit BCA MasterCard Lifestyle Edition. Jelas mantan presiden direktur PT BCA Finance ini, semua berawal saat manajemen melakukan analisis bahwa sebagian besar nasabah kartu kredit BCA Card memiliki tipikal sebagai pengusaha dan eksekutif. Dari database yang ada di BCA, diketahui bahwa banyak di antaranya yang memiliki anak usia remaja.

Manajemen BCA kemudian melakukan survei untuk mengetahui minat anak-anak itu. Hasilnya, mereka menemukan ada kecenderungan nasabah untuk berada di tempat-tempat tertentu seperti bioskop untuk sekadar hang out. “Berdasarkan data itulah kami lalu menggandeng MasterCard, Bioskop XXI, dan Starbucks dalam mengeluarkan produk BCA MasterCard edisi lifestyle dengan desain yang menarik,” ujar Henry.

Hasilnya, produk ini terbilang sukses. Dari seluruh pengguna kartu kredit BCA, produk ini memiliki pangsa 24%, dengan 40% di antaranya merupakan kartu kredit jenis Platinum dan Gold dengan limit di atas Rp10 juta.

Produk lainnya seperti layanan mobile banking BCA juga mendapat respons yang antusias. Buktinya, hanya dalam waktu 11 hari sejak peluncurannya, layanan ini mampu menyerap 6.873 nasabah untuk mendaftarkan diri sebagai pengguna mobile banking BCA. Kini layanan ini termasuk salah satu primadona bagi nasabah BCA dalam melakukan transaksi.



Pemanfaatan Teknologi Informasi

Teknologi informasi (TI), khususnya aplikasi database, benar-benar mendatangkan manfaat dalam proses bisnis BCA, baik bagi nasabah BCA maupun bagi BCA sebagai korporasi. Indikasinya, jumlah pemakai makin banyak. Henry mencontohkan, semua transaksi yang dulu dilayani teller, sekarang bisa melalui fasilitas elektronik, sesuai keadaan pengguna. Apabila nasabah memiliki fasilitas internet, BCA juga menyediakan produk internet banking. Belum lagi keberadaan jaringan ATM, yang dalam hal ini BCA memang termasuk pelopornya.

Secara kuantitatif, jumlah pelanggan produk berbasis TI di BCA makin bertambah. Internet banking BCA, misalnya, kini sudah dimanfaatkan oleh ratusan ribu nasabah, begitu pula program mobile banking BCA. Nilai transaksi melalui internet banking BCA meningkat 31,8% yoy menjadi Rp273,5 triliun pada triwulan I–2009.

Dilihat dari kepentingan internal, keberadaan TI memberikan dua manfaat yang signifikan. Pertama, terkait dengan business process dan manajemen sistem informasi (MSI). TI membantu manajemen BCA di bidang pengelolaan business process. Misalnya, untuk memproses aplikasi pinjaman kartu kredit, mobil, atau usaha kecil. Dengan kemampuan TI dan telekomunikasi, BCA bisa mengetahui dengan tepat prosesnya sudah sampai di mana dan perlu waktu berapa lama lagi. Kelengkapan dokumen pun bisa dicek secara elektronik. Ini jelas membantu konsumen, terutama dalam masalah kepastian waktu.

Selain itu, dari data elektronik yang ada, misalnya, gaya hidup dan karakteristik nasabah bisa dilacak dan diketahui. Contohnya, dari pengguna kartu kredit, akan diketahui belanja kesukaan, tempat belanja favorit, produk favorit, serta gaya liburan nasabah. Tidak hanya itu, dengan program data mining yang dihasilkan dari pemanfaatan TI, BCA bisa lebih jeli memilah mana saja produk yang profitable dan disenangi nasabah.

Terlebih lagi, BCA juga bisa melakukan kombinasi-kombinasi produk yang bermanfaat. Ini juga membantu BCA untuk melakukan cross selling kepada nasabahnya berdasarkan kebutuhan personalnya.

Harus diakui, BCA unggul di bidang TI karena bank yang mayoritas sahamnya dikuasai Farallon Capital (Alaerka Investment dan Grup Djarum) ini lebih dulu mengembangkan program TI-nya. Itu berarti, reliability sistem yang dibangun sudah terbukti dan bisa diandalkan. Apalagi data warehousing atau data mining sudah bisa dimanfaatkan penuh.

Terkait dengan data center, BCA hingga kini masih mengembangkan sistem dua data center yang saling mem-back up. Tujuannya, jika ada masalah di salah satu data center, yang satu lagi akan mem-back up dan mengambil alih tugas. Berbeda dengan kebanyakan bank lain, BCA memisahkan antara data center dan disaster recovery center (DRC)-nya. Sistem DRC telah dimiliki BCA sejak 1989. Sejak 2002, sistem DRC ini ditempatkan di Singapura dan dipercayakan pada IBM untuk mengelolanya.

Saat ini BCA telah memasuki beberapa proses tahap pengembangan TI lebih lanjut. BCA mengembangkan biro kredit yang sebelumnya tak pernah ada di perbankan Indonesia. Biro kredit berisi data historical credit baik yang sifatnya positif maupun negatif. Apabila ada nasabah yang mengalami “macet”, maka manajemen bisa dengan mudah memutuskan langkah selanjutnya.



Sadar, tetapi Komitmen Rendah

Diakui Handi Irawan, konsultan pemasaran dari Frontier Consulting Group, dalam hal pengelolaan database, BCA memang sudah terbilang advance. Mereka mampu membuat database yang baik, mengelola, menganalisis, dan menggunakannya untuk kebutuhan industrinya. Sejatinya, tambah Handi, apabila sebuah perusahaan ingin dapat lebih berkembang memang harus melakukan hal-hal seperti itu.

Namun sayangnya, ungkap Handi, sebagian besar perusahaan belum seperti BCA. “Mungkin hanya 5% perusahaan Indonesia yang menggunakan database dalam level tertinggi seperti BCA,” cetusnya. Padahal, menurut dia, database itu sangat menolong kemajuan perusahaan. “Perusahaan akan mampu melakukan cross selling dengan baik bila ditopang dengan database yang juga baik,” katanya.

Handi yakin sebenarnya sebagian besar perusahaan nasional di Indonesia sudah memahami pentingnya database dalam perkembangan bisnis. Namun, yang kerap menjadi masalah adalah komitmen mereka dalam menjalankannya. Komitmen ini bukan sekadar lisan, tetapi juga terkait dengan SDM yang mumpuni, alokasi bujet, dan, tentu, strategi. Tanpa itu semua, rasanya perusahaan akan sulit berkembang dengan cepat atau bahkan gugur sebelum berkembang.


wartaekonomi

TODAY DIRECTORY © 2008 today directory.

TOPO